IndeksSosial

Pemerhati Masyarakat Tapanuli: Penghargaan GEP Tidak Pantas Diberikan pada Delima Silalahi

Pemerhati Masyarakat Tapanuli: Penghargaan GEP Tidak Pantas Diberikan pada Delima Silalahi — TOBA (bareskrim.com) | Penghargaan Goldman Environmental Prize (GEP) yang diterima Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi di negara Amerika menuai kritikan yang datangnya dari masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara.

Kritikan itu berkembang setelah beredarnya kabar bahwa Delima Silalahi  disebut sebagai pejuang lingkungan di beberapa media online.

Ketua Sumatera Forest Non Goverment Organization (NGO), Rinaldi Hutajulu berargumen terkait standar seperti apa yang menjadi pedoman yang digunakan pihak pemberi penghargaan GEP kepada Delima Silalahi.

Menurutnya, pihak pemberi penghargaan hanya menilai Delima Silalahi dari sisi perjuangkan tanah adat. Dan tanah adat yang diperjuangkan di sejumlah daerah belum jelas dasar hukum dan kepemilikannya.

“Penilaian lebih konsentrasi memperjuangkan tanah adat yang cenderung merupakan bagian dari konsesi perusahaan swasta salah satunya PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) yang memiliki ijin atau legalitas dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” jelas Rinaldi Hutajulu dalam pesan elektronik yang diterima, Sabtu, 10 Juni 2023.

Menurutnya, sejak beberapa tahun belakangan pihak Delima Silalahi (KSPPM) hanya melakukan konsentrasi tehadap perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik TPL.

Padahal, menurut Rinaldi, penguasaan lahan dan alih fungsi kawasan hutan lainnya masih banyak dilakukan oleh pihak lainnya di sejumlah kabupaten di bumi Tapanuli, yakni kawasan hutan di sekitar perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan.

“Ada sejumlah lokasi kawasan hutan lindung yang sudah dibabat dan dialihfungsikan yang luasnya ratusan hektar, dan tidak pernah ditangani oleh KSPPM dalam melakukan perlawanan, dan ini menjadi pertanyaan besar bagi sejumlah pemerhati lingkungan di Tapanuli,” kata Rinaldi Hutajulu.

Rinaldi menambahkan, meskipun Delima Silalahi berhasil menerima penghargaan Goldman Environmental Prize (GEP), namun dirinya menilai masih kurang pantas dan sangat jauh dari harapan dalam hal sebagai pejuang lingkungan dengan tidak berpihak kepada siapapun, khususnya untuk kepentingan pemberi dana dari kawasan negara Eropa.

“Silahkan saja mendapatkan penghargaan itu, tapi tunjukkan kinerja di lapangan tidak pandang buluh. Masih banyak pihak yang mengalihfungsikan kawasan hutan secara besar-besaran tanpa ada legalitas atau perijinan dari pemerintah. Kalau hanya pihak tertentu yang jadi target mereka (KSPPM), saya jadi tanda tanya dan curiga ada apa, apa tujuannya dan siapa dibelakangnya,” ungkap Rinaldi.

Kemudian muncul pertanyaan lain, darimanakah KSPPM yang dipimpin Delima Silalahi mendapatkan dana untuk membiayai operasional kantornya dan gaji para pengurusnya?

Hingga saat ini siapa para donatur KSPPM masih dalam penelusuran. Namun intrik yang berkembang, KSPPM memperoleh dana segar dari  Eropa dan Amerika, yang mungkin berkelompok untuk melawan pesaing bisnisnya di dunia internasional, khususnya bisnis pulp.

Akibatnya, muncul lagi kemudian penilaian masyarakat kawasan Danau Toba yang menyebut Delima Silalahi itu hanya antek asing, yang diperalat untuk kepentingan bisnis mereka dengan mendiskreditkan TPL dengan membawa isu lingkungan dan tanah adat.

Antek Asing

Melalui penghargaan GEP, Delima Silalahi yang merasa bangga juga dinilai tidak sadar diri sudah masuk perangkap permainan bisnis tingkat dunia.

Delima itu, katanya, hanya pion, hanya pekerja dan bahkan ada yang menyebutnya sebagai antek asing karena selalu saja menyuarakan tutup TPL, hingga sampai ke Amerika. Sementara 8.000-an masyarakat Batak menumpahkan nasibnya di pabrik TPL.

“Kok bisanya si Delima Silalahi itu demo ke Amerika dengan teriakan tutup TPL. Sementara ribuan saudaranya suku Batak bisa hidup dan makan serta sekolahkan anaknya karena bekerja di PT TPL. Aneh ini orang,” sebut Marolop Tampubolon, salah satu pemerhati NGO di Kabupaten Toba.

Menggali komentar Ompung Indera Nababan terdahulu yang mengatakan Delima Silalahi itu hanya pekerja, sementara di sejumlah media online menyebutnya pejuang. Sebenarnya apa perbedaan pejuang dengan pekerja.

Pekerja adalah orang yang hanya mau melakukan sesuatu karena mengharapkan imbalan dan keuntungan. Ia akan berhenti beraktivitas apabila tidak ada imbalan yang bisa didapat.

Pertanyaannya, ketika Delima Silalahi dan pengurus KSPPM lainnya tidak lagi menerima gaji, apakah mereka tetap mau bekerja untuk KSPPM dalam perjuangan lingkungan dan tanah adat?

“Sepertinya tidak, mereka tidak akan mampu. Karena selama ini mereka itu semua memang bukan pejuang tapi pekerja. Saya yakin mereka tidak tahan lapar,” kata Jimmi Marpaung, pengamat pergerakan KSPPM.

Menurut Jimmi, pejuang adalah orang yang mau mengorbankan apa yang dimiliki, baik berupa tenaga, harta dan bahkan jiwanya sekalipun untuk kepentingan orang lain. Orang seperti itu biasanya tidak peduli, apakah pada akhirnya akan memperoleh sesuatu, atau tidak.

Kesenangan dan kebahagiaan yang diperoleh adalah ketika dirinya bisa berjuang untuk kepentingan orang banyak.

Memungkinkan jika sebentar saja dia bisa dicampakkan kaum kapitalis Amerika. Sadar atau tidak sadar, hanya Delima yang tahu isi hatinya. Hanya Delima yang tahu kemana pada akhirnya dia akan beranjak pergi. Yang pasti Delima Silalahi juga punya kepentingan pribadi.

Namun demikian sebagai pekerja jangan terlalu mudah menjual leher rakyat. Melakukan aksi demo dengan teriakan mengatasnamakan rakyat, hidup rakyat, demi rakyat, namun tidak lain hanya bertujuan untuk kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok semata.

Aksi demo dan teriakan atas nama rakyat itu hanya berbuntut agar dapat menerima gaji, sementara rakyat dijadikan alat. Kalau tidak teriak, tidak terima gaji. Inilah yang dinamakan pekerja mengaku sang pejuang. (red/B)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button